watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

PAMERAN DIPANTI PIJAT
<

Salah satu cara favoritku buat ‘pameran’ dan
masih kujalani dengan pola yang hampir sama
sampai sekarang adalah ke Panti Pijat (PP). Tetapi
sebelumnya, jangan membayangkan seperti
yang sering orang bilang, yaitu tempat
terselubung buat begituan. Terus terang aku
tidak perlu yang begituannya, walaupun
ditawari. Aku juga tidak pernah cari yang di
daerah Kota, terlalu vulgar/langsung (tahu
sendirilah bagaimana di daerah Kota itu). Selalu
yang kutuju itu daerah pinggiran seperti Pasar
Minggu, Depok, Kebayoran Lama, Cempaka
Putih, dan lain-lain. Umumnya yang pasang
nama Urut Pengobatan Tradisional, tetap ada sih
yang begitunya, tapi masih tidak terlalu to-the-
point seperti di daerah Kota, sudah tidak seru lagi
kalau begitu.
Enaknya, pemijatnya yang masih polos atau
malu-malu. Kenapa aku senang ke panti pijat..?
Selain badan jadi enak (karena dipijat betulan),
juga terutama bebas berbugil ria tanpa khawatir
resiko apa-apa. Ini dia intinya.
Salah satunya yang terbaik adalah waktu aku
pijat di daerah Lenteng Agung. Aku datang
sekitar jam 14.00. Suasananya sepi (memang
sengaja). Terus aku ke meja pendaftaran
tamunya, yang jaga ibu-ibu.
“Mau pijat Mas..?”
“Iya,” jawabku singkat.
Dia langsung mengajak masuk ke dalam untuk
menunjukkan kamar, dan aku disuruh
menunggu sebentar. Dia memanggil
pemijatnya.
Rupanya panti pijat ini lumayan sopan, tidak
menunjukkan album yang berisi foto pemijatnya
untuk dipilih. Kalaupun disuruh memilih foto
dulu, aku akan pilih yang wajahnya masih polos/
biasa-biasa saja, syukur-syukur kalau lumayan
manis. Paling tidak mau deh yang wajahnya
sexy/merangsang atau berpengalaman, yang
body-nya aduhai. Biasanya yang model begini
mijatnya asal-asalan, tidak karuan, maunya cepat
saja ditawar, terus selesai. Apa-apaan nih, tidak
seru. Bukan itu atau body yang kucari.
Tidak lama kemudian pemijatnya datang, cewek
berumur sekitar 20 tahunan. Body dan
wajahnya biasa-biasa saja tapi bolehlah,
lumayan. Untung bukan model germo yang
datang.
“Selamat siang, pijat ya Mas..?”
“Iya,” jawabku lagi-lagi singkat.
“Bajunya belum dibuka…” katanya.
Aku segera membuka baju dan celana panjang,
tinggal pakai celana dalam saja. Dan aku
langsung rebahan telungkup. Dia mulai memijat
dari telapak kaki terus ke paha. Enak juga
mijatnya, cuma agak kekerasan. Waktu kubilang,
dia mengurangi tekanannya. Selanjutnya dia
menawari mau pakai cream atau tidak. Aku
setuju (sesuai skenario sih). Setelah mengolesi
cream, dia mengulang pijatan dari kaki, naik ke
betis dan ke paha. Sampai tahap ini, kulancarkan
manuver berikutnya.
“Wah, celananya ntar kena cream nggak
Mbak..?”
“Oh, kalo gitu bisa dibuka aja, nggak apa-apa…”
Ternyata, tahap kedua berjalan mulus. Sambil
tetap telungkup, kuturunkan celana dalam pelan-
pelan, terus dia membantu menarik sampai
lepas di kaki. Aku sengaja melakukannya dengan
proses yang pelan-pelan, tidak langsung
ditunjukkan secara frontal, belum saatnya.
Sambil dia bantu menurunkan tadi, kuatur posisi
anuku (si otong) mengarah ke bawah/belakang.
Jadi kalau dilihat dari arah belakang (posisi
telungkup dan kaki mengangkang), di pangkal
paha akan kelihatan bijiku, terus ada yang
menyembul sedikit di bawahnya (ya kepala/topi
baja si otong!). Dengan posisi ini, pasti waktu dia
mijat sekitar paha akan menyenggol-nyenggol
(he.. he.. he.., canggih ya skenarionya).
Aduh, udah mulai ser-seran hatiku. Soalnya
walaupun baru sedikit, dia sudah mulai melihat
barangku. Benar juga, waktu dia pijat sekitar
paha dalam, biji dan si otong tersentuh
tangannya. Kontan si otong bangun terjaga dari
lelapnya. Gimanaaa gitu rasanya, apalagi
membayangkan dia pasti lihat dari belakang si
otong sudah bangun memanjang. Pijatan naik
ke pantat. Pantatku dipijat pelan-pelan, diputar-
putar, diremas-remas. Wah, si otong makin
kaku saja. Agak-agak sakit sih karena posisinya
ketindihan badan, tapi mantap.
Sewaktu pijatan naik lagi ke pinggang, punggung
dan leher, rangsangan menurun, dan otomatis si
otong mengendor. Tidak apa-apalah istirahat
dulu buat ronde selanjutnya yang lebih
menegangkan dan full action. Disini aku
menikmati juga pijatan seriusnya.
“Balik Mas..!” katanya perlahan.
Nah, ini dia awal ronde kedua yang kutunggu-
tunggu. Dengan semangat ’45, aku berbalik.
Jreeeng.., aku telentang dan telanjang bulat di
depan seorang cewek. Si otong melambai-
lambai karena gerakan berbalik tadi. Meskipun
sudah sering mengalami ini, aku tetap berdebar-
debar. Badanku bergetar waktu merasa sekujur
badanku terutama si otong disapu pandangan
mata seorang cewek, istilah kerennya di-’scan’.
Si otong terasa panas. Berbeda dengan posisi
tengkurap dengan kaki mengangkang, waktu
telentang kedua kakiku dirapatkan. Teorinya,
kedua pahaku rapat mengapit biji dan si otong.
So, waktu dia memijat paha, otomatis ya.., itu
benar, menyentuh lagi, oke nggak tuh.
Dia mulai memijat dari arah kaki lagi. Aku pura-
pura ketiduran, tapi mata tidak dimeramkan
benar, masih dapat mengintip sedikit. Nikmat
rasanya melihat doi yang menganggap aku
ketiduran, sekali-sekali melirik si otong yang
sedang terangguk-angguk. Bulu kemaluanku
merinding rasanya. Pijatan naik ke lutut, terus ke
paha. Rangsangan mulai terasa, si otong kena
imbasnya, perlahan-lahan menggelembung.
Waktu sampai di paha atas, bijiku kegeser-geser
lembut tangannya (lagi-lagi sesuai ‘GBHN’).
Sampai disini si otong sementara tidak
kesenggol, karena sudah menjulang dengan
gagahnya seperti monas. Bedanya monas, yang
atasnya emas, sedangkan si otong puncaknya
topi baja. Apalagi waktu dia membuka kedua
pahaku yang dikangkangkan untuk memijat
pangkal paha terus naik memutari si otong di
kiri-kanannya ke arah perut di bawah pusar. Buat
cewek kalau tidak salah namanya daerah bukit
Venus ya?
Gerakan memutar ini mengakibatkan si otong
yang walaupun sudah berdiri bebas, tergeser
tangannya. Alamak.., selanjutnya dia memijat-
mijat, menekan-nekan di daerah bulu kemaluan
ke arah pusar. Kemudian ditarik lagi ke bawah
memutar ke selangkangan, terus ke bawah biji.
Dipijat-pijat dan ditekan-tekan lagi disitu.
Diperparah dengan tarikan ke atas ke kantong biji
melalui tengah-tengah antara dua biji dan
berakhir di pangkal si otong dan disitu ditekan
seperti akupunktur.
Disini aku udah megap-megap, tidak dapat
mengeluarkan suara, nafas saja susah. Kepalaku
mau pecah rasanya kena rangsangan seperti ini.
Si otong rasanya bergetar saking keras dan
kakunya, seperti berubah jadi besi. Mungkin
kalau disentil akan berbunyi tinggg…
“Udah selesai Mas, ada yang masih kurang..?”
katanya menarik kembaliku ke bumi dari suasana
melayang-layang.
Nada dan ekspresi wajahnya biasa-biasa saja
seperti tidak terjadi apa-apa, padahal aku sudah
sedemikian heboh rasanya. Aku agak bengong
sebentar karena proses mendarat belum
sempurna.
“Eeh iya.. iya..” kataku tergagap karena kepala
atas dan terutama yang bawah masih nyut-
nyutan, “Mmm.., boleh minta tissue Mbak..?”
“Boleh.., nih..!” katanya manis, “Emangnya buat
apa sih..?”
“Ngg… anu… kepala saya pusing banget, harus
‘dikeluarin’ dulu..” jawabku tidak kalah polosnya.
Pembalasan.
“Dikeluarin? Oh.. Mas maksudnya mau ‘main’..?”
tanyanya, lagi-lagi dengan nada datar.
“Nggak, saya biasa dikeluarin sendiri.”
“Memangnya bisa dikeluarin sendiri..?
Caranya..?” disini dia mulai antusias.
Waduh, tidak mengerti ngocok/onani/
masturbasi ini cewek.
“Ya bisalah, dikocok-kocok kayak gini, ntar juga
keluar.” jawabku sambil mulai melingkarkan jari-
jari tangan kiri menggenggam si otong,
kemudian membuat gerakan mengocok lembut
ke atas ke kepala dan ke bawah ke pangkalnya.
“Emangnya enak..?” perhatiannya semakin
meninggi, begitu juga spaning-ku karena dialog
ini.
“Uenak buanget… kalo nggak enak mana mau
saya ngocok kayak makan obat tiga kali sehari,
tiap hari.” jawabku sejujurnya sambil mengatur
nafas.
Terus obrolan kulanjutkan sambil terus
mengocok perlahan-lahan menikmati tatapan
matanya yang terfokus pada tanganku yang
bergerak naik turun menyusuri batang si otong.
“Emangnya kamu nggak pernah? Cewek kan
sama aja, bisa juga main sendiri.”
“Ih, nggak pernah tuh, caranya juga nggak tau.
Pernah denger sih, tapi nggak jelas,” jawabnya
tanpa melepaskan matanya dari si otong yang
sedang kupijat dengan mesranya.
“Kalo soal caranya, macem-macem, biasanya
pake tangan sendiri dielus-elus, terus jarinya
dimasukin dikocok-kocok, ada juga yang pake
alat dari plastik yang bentuknya kayak barang
cowok, ini lebih nikmat. Atau yang paling
gampang, enak dan murah pake timun, atau
terong yang pas bener bentuknya.”
Sudah kayak pakar seksologi saja nih aku. Dia
hanya tertawa kecil sambil menutup mulutnya
dengan tangan. Setelah itu dia diam, tapi berdiri
semakin mendekat persis di sampingku dengan
mata yang tidak berkedip.
Uuuh, luar biasa sensasinya. Bayangin, aku
masturbasi dengan ditonton penuh perhatian
oleh seorang cewek! Ini puncak atau level
tertinggi kenikmatan bagi seorang exhibionist
sepertiku. Kalau ketelanjangan kita dilihat orang
itu sudah nikmat, apalagi masturbasi. Karena
masturbasi adalah kegiatan paling rahasia dari
seseorang. Dilihat lawan jenis dan penuh
perhatian lagi. Sampai gemetar tanganku yang
lagi mengocok si otong.
Tanpa saling bersuara, aku terus mengocok di
bawah tatapan matanya. Tangan kananku
mengusap-usap biji. Makin lama kocokan
semakin kupercepat dan terus dipercepat.
Nafasku semakin memburu. Matanya semakin
membulat menatap gerakan tanganku,
sementara kebalikannya aku menatap tanpa
berkedip ke wajahnya menikmati ekspresinya
yang antusias, heran, pengen tahu dan
sebagainya campur aduk.
Akhirnya aku merasa puncakku hampir sampai,
gunung berapi dalam genggamanku mau
meletus memuntahkan kenikmatan. Aku
memiringkan badan menyesuaikan posisi kepala
si otong supaya muntah tepat di tissue yang
kuletakkan di kasur.
“Udah mau keluar ya Mas..?” tanyanya, tapi aku
sudah tidak dapat mengeluarkan suara.
Tanpa menunggu jawaban, eh… dia malah
berjongkok persis di samping tissue. Mungkin
ingin melihat lebih dekat dan jelas saat-saat
bersejarah baginya yang sebentar lagi akan
terjadi. Melihat ini aku semakin parah rasanya.
Tanpa tertahan lagi, dengan kocokan kecepatan
supersonik dan pandangan sekitar yang
mengabur karena mataku semakin terfokus
hanya kepada wajah dan ekspresinya, si otong
meledak sangat dahsyat memuntahkan
kenikmatan yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya.
Sentakan ledakan yang terjadi membuat seluruh
tulang-tulang serasa tercabut, jantung sudah
tidak tahu masih ada apa sudah ikut meledak.
Ledakkan pertama ini saja sudah memuntahkan
cairan kenikmatan dalam jumlah banyak. Setelah
itu masih diikuti ledakan-ledakan selanjutnya
yang membuat cairan kenikmatanku tidak
tertampung di tissue dan meluber ke kasur.
Badanku masih mengejut-ngejut dan tersentak-
sentak. Sepertinya aku kehilangan kesadaran
sebentar karena kenikmatan yang belum pernah
terasa sesempurna ini. Rupanya efek
melayangnya cukup panjang, walaupun si otong
sudah selesai dan kenyang memuntahkan
kandungannya.
Perlahan-lahan kesadaranku mulai kembali, mata
kubuka. Pertama-tama yang kulihat si cewek itu.
Kelihatannya dia sedang mengelap lengannya
dengan tissue.
“Ih, si Mas keluarnya sampe keciprat ke tangan
saya.”
Aku hanya dapat tersenyum, “Maapin deh, kan
lagi nggak kontrol tadi.” (Untung tidak ketembak
mulutnya).
“Lagian keluarnya bisa banyak gitu, apa memang
selalu segitu kalo keluar Mas?”
“Ya nggaklah, tergantung situasi aja.” jawabku
lemas sekali, mau menggerakkan tangan saja
berat rasanya.
Selanjutnya dia dengan hati-hati mengangkat
tissue basah kuyup dan luber cairan putih itu dari
kasur dengan kantung plastik.
“Tuh kan si Mas, musti ganti kasur deh saya.
Banyak banget sih keluarnya, orang yang
begituan beneran aja nggak segitu banyaknya,”
Lagi-lagi aku hanya dapat tersenyum.
“Mau mandi atau dilap air anget aja Mas?”
tanyanya.
“Dilap aja deh, udah nggak kuat berdiri nih…”
Sambil mengelap badan, dia mulai bicara lagi,
“Ternyata bisa ya Mas dikeluarin sendiri..”
“Kan udah lihat sendiri buktinya. Eh kamu sendiri
gimana, ada minat nyoba main sendiri, enak lho
nggak tergantung orang lain.”
“Au ah..,” katanya sambil tertawa cekikikan, tidak
jelas maksudnya.
Waktu sampai giliran si otong yang di lap, dia
melingkarkan lap hangatnya membalut si otong
sambil diremas-remas, “Hih, kamu ini
muntahnya habis-habisan yah..!”
Karena dibungkus lap hangat dan diremas-
remas, si otong mendadak bengkak dan
memanjang lagi sampai menonjol keluar topi
bajanya dari lipatan lap.
“Yah, bangun lagi sih…” katanya heran.
“Kamu juga sih ngajak ngobrol dia, ya dia
nyautin..”
“Terus gimana nih..?”
“Apanya yang gimana?” aku balik bertanya.
“Iyaaa, apa musti dikeluarin lagi?”
Mendengar ini semangatku bangkit lagi, lupa
sama badan yang sudah segitu lemasnya tadi.
“Tergantung, kalo waktunya masih ada dan
belum diusir” kujawab sambil berharap-harap
cemas.
“Terserah deh, kalo mau dikeluarin lagi silakan.
Tapi jangan di tissue lagi.. dimana ya..?” katanya
sambil mencari-cari.
Tanpa membuang waktu, aku sudah mulai
mengocok lagi, tapi sekarang posisinya duduk di
pinggir tempat tidur. Lucu juga
membayangkannya, aku telanjang bulat
mengocok di pinggir tempat tidur, sementara
ada seorang cewek berpakaian lengkap yang lagi
sibuk cari tempat buat menampung cairan hasil
kocokanku.
“Nah disini aja deh langsung..,” katanya sambil
mengambil tempat sampah dari kolong meja,
dan meletakkan di lantai tepat di bawah si otong
yang sedang kukocok.
Selanjutnya dia berdiri memperhatikan
kegiatanku. Lagi-lagi caranya melihat dan
memperhatikan membuatku merinding sampai
ke ujung bulu kemaluanku dan terangsang
hebat.
“Eh, nanti malah berceceran di lantai…” katanya
sambil mengangkat tempat sampah itu dan
memegangnya persis di depan mulut si otong
yang lagi megap-megap karena kukocok secepat
kilat.
Pemandangan dia menampung ini efeknya
sangat fantastis buatku. Badanku tergetar hebat.
Mendadak gelombang kenikmatan itu datang
bergulung-gulung, turun dari otakku terus ke
bawah, dan akhirnya meledak di mulut si otong.
Sekilas aku mendengar suara cipratan yang
berkecipak ketika cairan yang diledakkan dan
meluncur dengan kecepatan tinggi dari mulut si
otong mengenai dasar tempat sampah plastik
yang dipegang cewek itu. Setelah itu si otong
masih mengejut-ngejut beberapa kali
melepaskan tembakan susulan, walaupun tidak
sebanyak ejakulasi pertama.
Habis badanku rasanya. Cewek itu hanya geleng-
geleng kepala sambil meletakkan tempat sampah
kembali ke kolong meja.
“Gile bener..,” hanya itu komentarnya.
Sambil menungguku pakai baju, cewek itu
bertanya lagi, “Yang kedua ini keluarnya lebih
cepet ya Mas..?”
“Yah soal itu sih susah ditentuinnya, nggak bisa
dipasti-pastiin bener,” jawabku sekenanya.
Padahal sebenarnya yang pertama itu harusnya
lebih cepat, soalnya rangsangannya kan lebih
besar. Tapi karena ingin pameran dan
memberikan pertunjukan yang terbaik untuk
penonton tunggal ini, ya kuatur-atur deh.
“Terus kalo main betulan sama cewek
emangnya si Mas nggak suka atau gimana sih..?”
Waduh, pertanyaannya semakin berat, untung
kamar sebelah tidak ada tamunya.
“Yah yang jelas sampai sekarang saya lebih suka
ngocok sendiri. Buktinya saya nggak ngapa-
ngapain kamu kan..? Biar kamu telanjang bulat,
saya nggak akan bahaya buat kamu, paling-
paling saya ngocok lagi, he… he… he…”
“Nggak pegel ngocok tiap hari..?”
Astaga, pertanyaannya membuatku jadi bingung
juga.
“Lha enak kok.., nggak ngerepotin lagi..”
Setelah membereskan masalah administratif, aku
keluar dan pergi. Sampai saat ini aku masih
belum memutuskan, apakah akan kembali lagi ke
tempat itu atau tidak. Soalnya dari pengalaman
yang sudah-sudah, pertemuan yang kedua
kalinya sudah tidak ada sensasinya lagi. Sensasi
itu selalu timbul dari orang yang belum pernah
dijumpai/baru. Kalau orangnya yang itu-itu juga,
dia sudah tahu kebiasaan kita, mau ngapain
selanjutnya dan lain-lain. Tidak seru.
TAMAT


Adult | GO HOME | Exit
1/982
U-ON

inc Powered by Xtgem.com